Kasus Difteri, dalam kacamata Pengendalian dan Pencegahan Infeksi

Difteri, merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang paling banyak menginfeksi tenggorokan dan saluran pernafasan atas. Difteri juga memproduksi toksin yang mematikan yang mempengaruhi organ lain. Infeksi difteri mempunyai efek onset yang cepat dengan karakteristik utama adalah nyeri tenggorokan, panas yang tidak terlalu tinggi maupun bengkak di kelenjar sekitar leher. Efek dari toksin difteri dapat menyebabkan myocarditis dan neuropathy perifer. Toksin difteri juga menyebabkan membran dari jaringan yang mati dekat tenggorokan maupun tonsil, sehingga sulit bernafas dan sulit menelan.

 

 

Difteri sempat menjadi Kejadian Luar Biasa di seluruh dunia pada tahun 90-an. Dengan penanganan yang tepat angka tersebut dapat ditekan.

https://i0.wp.com/www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/surveillance_type/passive/big_dtp3_global_coverage.jpg

Bagaimana dengan data di Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri 2017 menyatakan jumlah kasus Difteri di Indonesia, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR). Jumlah kaus sedikit meningkat pada tahun 2015 sebanyak 259 kasus dan pada tahun 2016 sebanyak 591 kasus.

Kementerian Kesehatan mempunyai 7 strategi dalam pencegahan dan pengendalian difteri;

  1. Penguatan imunisasi rutin Difteri sesuai dengan program imunisasi nasional.
  2. Penemuan dan penatalaksanaan dini kasus Difteri.
  3. Semua kasus Difteri harus dilakukan penyelidikan epidemiologi.
  4. Semua kasus Difteri dirujuk ke Rumah Sakit dan dirawat di ruang isolasi.
  5. Pengambilan spesimen dari kasus dan kasus kontak erat kemudian dikirim ke laboratorium rujukan Difteri untuk dilakukan pemeriksaan kultur atau PCR
  6. Menghentikan transmisi Difteri dengan pemberian prophilaksis terhadap kontak dan karier.
  7. Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) di daerah KLB Difteri

Kementerian Kesehatan pada Bab III. Penanggulangan KLB difteri mendefinisikan KLB difteri adalah jika ditemukan minimal 1 suspek difteri. Hal ini Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/Menkes/SK/VIII/ 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa yang menyatakan Kejadian Luar Biasa adalah:

  • Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
  • Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
  • Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
  • Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.

 

Pengendalian Difteri

Apabila terdapat kasus Difteri penanganan yang tepat diperlukan untuk mengendalikan persebaran difteri. Penyakit difteri menyebar melalui kontak langsung atau melalui udara, aerosol sekresi dari batuk atau bersin individu yang terinfeksi.  Kewaspadaan Standar dan Kewaspadaan berbasis transmisi droplet perlu dilakukan. Rumah sakit juga harus mampu melakukan kesiapan dalam keadaan darurat (emergency preparedness).

Kesiapan keadaan darurat yang perlu disiapkan rumah sakit diantaranya:

  • Pengetahuan petugas
  • Kapasitas rumah sakit untuk menampung masuknya pasien infeksius secara tiba tiba
  • Triage pasien
  • Kecukupan tempat
  • Ketersediaan ruang isolasi, barrier penahan dan alat pelindung diri
  • Peralatan dan suplai; instumen, linen, bahan habis pakai, alat makan
  • Isu keamanan

 

Tata laksana harus diketahui oleh semua petugas. Diagnosis yang cepat dan tepat diikuti dengan pemberian ADS, serum antitoksin difteria dan pemberian antibiotik yang rasional. Berikut adalah algoritma secara singkat:

Algoritma Difteri

Sangat penting bagi rumah sakit untuk melakukan isolasi saat terjadi KLB difteri. Isolasi dapat berupa ruangan tersendiri, di area yang terpisah, atau gedung yang terpisah. Isolasi juga mengharuskan pengunjung atau keluarga pasien serta petugas rumah sakit menggunakan alat pelindung diri, seperti gaun, sarung tangan dan masker. Isolasi juga berarti pasien dibatasi pergerakannya terhadap keluar ruang isolasi dan tamu lainnya. Rumah sakit harus mengidentifikasi cara bagaimana mengisolasi pasien dalam jumlah yang besar dan tetap mendapatkan pelayanan yang tepat, aman dan terdokumentasi.

Ruang isolasi darurat dibutuhkan dalam waktu singkat untuk menampung influx pasien yang masuk secara besar. Tidak harus membeli barang yang bermerk; plastik, plester, dan tiang tiang dapat digunakan untuk membuat shelter isolasi untuk penempatan pasien. Pembersihan dan dekontaminasi lingkungan menjadi hal yang mutlak untuk meminimalisir transmisi ke lingkungan rumah sakit lainnya. Pembersihan rutin menggunakan deterjen dan disinfektan lingkungan cukup untuk mencegah transmisi.

Pemrosesan peralatan dan instrumen tidak terdapat perbedaan dengan peralatan dan instrumen lainnya. Peralatan non kritis yang berada di lingkungan pasien harus dibersihkan dan didisinfeksi setiap berganti pasien, setiap terlihat kotor dan secara rutin. Instrumen semi kritis dan kritis dilakukan pencucian secara normal dan dilakukan disinfeksi tingkat tinggi atau sterilisasi. Penggunaan peralatan sekali pakai (single use/ disposable) akan memudahkan rumah sakit, misal penggunaan spatel sekali pakai.

Organizations should have systems in place to determine how such supplies as linens, eating utensils, and clothing are provided and managed for isolated patients and should have emergency supplies of these items in stores or have plans to obtain them before there is an influx of ill patients.

 

Pencegahan Difteri

Vaksinasi difteri mengurangi angka morbiditas dan mortalitas difteri secara dramatis. Angka difteri masih menjadi masalah kesehatan utama pada anak anak terutama pada negara dengan cakupan vaksinasi yang masih rendah, termasuk Indonesia.

https://i0.wp.com/www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/surveillance_type/passive/big_dtp3_map_global_coverage.jpg

Menurut WHO, Indonesi berada di gambar merah muda, yang artinya hanya 50-79% yang telah tervaksinasi dengan vaksin difteri.

Ditambah dengan gerakan anti vaksin, yang semakin melemahkan cakupan vaksinasi di Indonesia.

Pemerintah Indonesia telah menyediakan vaksin untuk mencegah penyakit difteri dalam 3 macam bentuk;

  1. Pentavalent; DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus infuenzae tipe B).
  2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
  3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).

Target cakupan diharapkan mencapai 95%, sehingga dalam peta WHO, Indonesia diharapkan berubah dari merah mudah menjadi biru tua.

Mari kita dukung bersama sama!

 

Bacaan Lanjut:

  1. http://www.who.int/immunization/diseases/diphtheria/en/
  2. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri, Kementerian Kesehatan RI, 2017

 

 

Tinggalkan komentar